Perhentian Ini Hanya Sementara Pesan Baru
Ibnu Umar, tokoh sahabat yang terkenal sangat wara’, pernah ditanya, “Apakah para sahabat Rasulullah dahulu tertawa?” Pertanyaan sederhana, tapi menyiratkan kebuutuhan informasi yang akurat tentang karakter generasi terbaik. Ibnu Umar pun menjawabnya dengan jawaban seobjektif mungkin. “Ya, mereka tertawa, tapi iman di dada mereka laksana gunung.” Begitu jawaban Ibnu Umar.
Perhatikan, apa yang melatarbelakangi pertanyaan kepada Ibnu Umar tersebut. Para sahabat adalah kumpulan manusia yang memiliki keberaniaan dan pengorbanan yang tak ada bandingnya. Orang yang bertanya kepada Ibnu Umar, tertarik untuk menanyakan sisi kemanusiaan generasi terbaik itu. Dan ternyata, begitulah jawaban Ibnu Umar. Singkat, padat dan dalam maknanya.
Para sahabat terkenal sangat giat dalam beramal. Umar radhiallahu ‘anhu, bahkan mengatakan, “Aku sangat benci melihat seorang dari kalian menganggur, tidak melakukan amal dunia dan tidak melakukan amal akhirat.” Hari demi hari yang mereka lalui selalu bermakna peningkatan dan pengembangan dari sebelumnya. Ibrahim Al Harbi pernah menceritakan perihal imam dari generasi tabi’in, Ahmad bin Hambal. “Aku pernah hidup bersama Ahmad bin Hambal 20 tahun. Selama musim kemarau dan hujan, musim panas dan dingin, siang dan malam. Aku tak pernah mendapatkannya, kecuali ia lebih baik dari hari kemarin.” (Manaqib Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Jauzi, h.140)
Meski demikian, para shalihin itu tetap berada ditengah-tengah, antara kekerasan dan kelembutan, antara disiplin bekerja dan istirahat. Seperti juga Rasulullah menyifatkan dirinya dengan istilah “adhahuuku al-qattal”, orang yang gemar tertawa tapi juga gemar berperang.
Senyum sebagai bagian dari peristirahatan dan kelembutan, dalam pandangan mereka, bahkan menjadi salah satu sifat istimewa manusia yang tak dimiliki binatang. Ibnu Taimiyah ra., mengulas hal ini dengan uraian yang menarik: “Manusia itu hewan yang bicara dan bisa tertawa. Tak ada yang bisa membedakan manusia dari hewan, kecuali dari sifat-sifat kesempurnaan. Sebagaimana bicara menjadi salah satu sifat kesempurnaan manusia, demikian juga tertawa. Maka jika yang bicara itu lebih sempurna dari yang tidak bicara, begitu pula yang tertawa itu lebih sempurna dari yang tidak mampu tertawa.” (Fatawa Ibnu Tamiyah,6/121).
Yang perlu diingat, peristirahatan itu bisa lebih bermanfaat dengan dua syarat. PERTAMA, dilakukan hanya dalam waktu sementara dan temporal. KEDUA, tidak keluar dari batas-batas yang dibenarkan oleh syari’at. Melanggar dua sayarat ini berarti substansi peristirahatan akan hilang atau justru memunculkan akibat kebalikannya. Karenanya, tanpa kehati-hatian, peristirahatan dan sebuah jeda, bisa berubah menjadi sebuah kelemahan, kemalasan bahkan keterjerumusan pada tipu daya syaithan.
Peristirahatan, harus tetap patuh pada aturan syariat. Canda misalnya, tak boleh dicampur dengan dusta. Peristirahatan hanya variasi hidup yang penting dari rutinitas. Ia juga ibarat garam dalam makanan. Penting tapi tidak boleh berlebihan. Tokoh Ulama Kuwait Syaikh Jasim Muhalhil mengistilahkan hal ini dengan “waktu turun minumnya seorang pejuang”, yang akan mengembalikan stamina atau menghidupkan tenaga yang lebih besar dari sebelumnya. Tokoh ulama Mesir Hasan Al Bana menyebutnya dengan ungkapan: “Mujahid sejati, adalah, adalah yang tak tidur sepenuh kelopak matanya, dan tidak tertawa selebar mulutnya.” Itulah makna peristirahatan dan perhentian hakiki.[*]
masnonowajak.blogspot.com
Perhatikan, apa yang melatarbelakangi pertanyaan kepada Ibnu Umar tersebut. Para sahabat adalah kumpulan manusia yang memiliki keberaniaan dan pengorbanan yang tak ada bandingnya. Orang yang bertanya kepada Ibnu Umar, tertarik untuk menanyakan sisi kemanusiaan generasi terbaik itu. Dan ternyata, begitulah jawaban Ibnu Umar. Singkat, padat dan dalam maknanya.
Para sahabat terkenal sangat giat dalam beramal. Umar radhiallahu ‘anhu, bahkan mengatakan, “Aku sangat benci melihat seorang dari kalian menganggur, tidak melakukan amal dunia dan tidak melakukan amal akhirat.” Hari demi hari yang mereka lalui selalu bermakna peningkatan dan pengembangan dari sebelumnya. Ibrahim Al Harbi pernah menceritakan perihal imam dari generasi tabi’in, Ahmad bin Hambal. “Aku pernah hidup bersama Ahmad bin Hambal 20 tahun. Selama musim kemarau dan hujan, musim panas dan dingin, siang dan malam. Aku tak pernah mendapatkannya, kecuali ia lebih baik dari hari kemarin.” (Manaqib Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Jauzi, h.140)
Meski demikian, para shalihin itu tetap berada ditengah-tengah, antara kekerasan dan kelembutan, antara disiplin bekerja dan istirahat. Seperti juga Rasulullah menyifatkan dirinya dengan istilah “adhahuuku al-qattal”, orang yang gemar tertawa tapi juga gemar berperang.
Senyum sebagai bagian dari peristirahatan dan kelembutan, dalam pandangan mereka, bahkan menjadi salah satu sifat istimewa manusia yang tak dimiliki binatang. Ibnu Taimiyah ra., mengulas hal ini dengan uraian yang menarik: “Manusia itu hewan yang bicara dan bisa tertawa. Tak ada yang bisa membedakan manusia dari hewan, kecuali dari sifat-sifat kesempurnaan. Sebagaimana bicara menjadi salah satu sifat kesempurnaan manusia, demikian juga tertawa. Maka jika yang bicara itu lebih sempurna dari yang tidak bicara, begitu pula yang tertawa itu lebih sempurna dari yang tidak mampu tertawa.” (Fatawa Ibnu Tamiyah,6/121).
Yang perlu diingat, peristirahatan itu bisa lebih bermanfaat dengan dua syarat. PERTAMA, dilakukan hanya dalam waktu sementara dan temporal. KEDUA, tidak keluar dari batas-batas yang dibenarkan oleh syari’at. Melanggar dua sayarat ini berarti substansi peristirahatan akan hilang atau justru memunculkan akibat kebalikannya. Karenanya, tanpa kehati-hatian, peristirahatan dan sebuah jeda, bisa berubah menjadi sebuah kelemahan, kemalasan bahkan keterjerumusan pada tipu daya syaithan.
Peristirahatan, harus tetap patuh pada aturan syariat. Canda misalnya, tak boleh dicampur dengan dusta. Peristirahatan hanya variasi hidup yang penting dari rutinitas. Ia juga ibarat garam dalam makanan. Penting tapi tidak boleh berlebihan. Tokoh Ulama Kuwait Syaikh Jasim Muhalhil mengistilahkan hal ini dengan “waktu turun minumnya seorang pejuang”, yang akan mengembalikan stamina atau menghidupkan tenaga yang lebih besar dari sebelumnya. Tokoh ulama Mesir Hasan Al Bana menyebutnya dengan ungkapan: “Mujahid sejati, adalah, adalah yang tak tidur sepenuh kelopak matanya, dan tidak tertawa selebar mulutnya.” Itulah makna peristirahatan dan perhentian hakiki.[*]
masnonowajak.blogspot.com
0 Response to "Perhentian Ini Hanya Sementara Pesan Baru"
Posting Komentar